Advertisement
Wisata Bulukumba -
Sejarah Makam Dato Tiro Salah satu objek wisata andalan pemerintah dan masyarakat Kabupaten Bulukumba adalah Makam Dato Tiro, di kampung Hila-hila, Kelurahan Eka Tiro, Kecamatan Bontotiro. Makam yang sudah berusia ratusan tahun itu, hingga kini tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan, baik wisatawan lokal, maupun wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara.Lokasi objek wisata tersebut terletak sekitar 180 km dari Kota Makassar yang dapat ditempuh dengan perjalanan darat dengan waktu sekitar 4-5 jam. Tarif bis umum dari Makassar ke Bontotiro antara Rp 40.000 hingga Rp 50.000.
|
Makam Dato Tiro |
Mengapa objek wisata tersebut menarik dikunjungi? Ada beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, karena Dato Tiro adalah pembawa agama Islam di Bulukumba, sehingga makamnya memiliki nilai sejarah. Kedua, karena Dato Tiro konon memiliki kesaktian, antara lain dari tarikan tongkat yang selalu dibawanyalah sehingga tak jauh dari makamnya terbentuk sebuah sumur panjang yang sudah berusia ratusan tahun, tetapi hingga kini airnya masih bening dan jernih. Sebagian masyarakat setempat percaya bahwa air yang bening dan jernih tersebut diduga kuat keluar dari celah-celah dinding batu, bukan dari pasir putih yang ada di dasar sumur.
Tidak sedikit pula yang yakin bahwa dengan mandi di sumur panjang di tepi jalan tersebut, maka selain dapat menikmati sejuk dan segar air sumur, penyakit kita akan sembuh, baik penyakit medis, maupun penyakit non-medis.Ketiga, karena banyak orang percaya (baik yang beragama Islam maupun non-muslim) bahwa setelah berkunjung ke makam Dato Tiro maka kita akan mendapatkan sesuatu atau keinginan kita akan terpenuhi. Banyak wisatawan mengaku berkunjung ke
Makam Dato Tiro karena memang sudah meniatkan (nadzar) sejak lama bahwa dirinya akan berkunjung ke sana jika keinginannya tercapai atau terpenuhi.
Dengan tiga alasan tersebut, tak salah kiranya kalau dikatakan Makam Dato Tiro di Bulukumba sebagai objek wisata sejarah, budaya, dan religius. Maka tak perlu heran pula bahwa meskipun
Dato Tiro adalah seorang ulama dan pembawa agama Islam di Bulukumba, tetapi wisatawan yang berkunjung bukan hanya orang yang beragama Islam melainkan juga non-muslim.
Siapa sebenarnya Dato Tiro? Ulama Dari Sumatera Dari berbagai literatur diketahui bahwa
Dato Tiro sebenarnya hanyalah sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat setempat atas penghargaan dan rasa hormat. Nama aslinya adalah Abdul Djawad. Versi lain menyebut nama aslinya adalah Nurdin Ariyani. Abdul Djawad atau Al Maulana Khatib Bungsu datang ke Sulawesi Selatan bersama dua orang sahabatnya dari Sumatera, yaitu: Khatib Makmur yang lebih dikenal dengan nama Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman yang lebih dikenal dengan
Dato Patimang.
Mereka bertiga adalah murid atau santri dari Pesantren Sunan Giri. Sunan Giri adalah nama salah seorang walisongo (wali sembilan yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17) dan pendiri kerajaan Guru Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin, dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kebomas, Gresik. Pada tahun 1600-an Masehi, Abdul Djawad menyiarkan agama Islam di Tiro (Bulukumba) dan sekitarnya. Adapun raja yang pertama diislamkan dalam kerajaan Tiro adalah Launru Daeng Biasa yang bergelar Karaeng Ambibia.
Launru Daeng Biasa adalah cucu keempat dari Karaeng Samparaja Daeng Malaja yang bergelar Karaeng Sapo Batu yang merupakan raja pertama di Tiro. Kedatangan Abdul Jawad yang bergelar Al Maulana Khatib Bungsu ke Tiro (Bontotiro) dapat diterima oleh masyarakat setempat, karena dirinya memiliki kesaktian dan sentuhan ajaran Islam yang dibawanya menanamkan kesadaran religius keyakinan untuk hidup zuhud, suci lahir batin, selamat dunia akhirat, dalam kerangka tauhid ‘appasseuang (meng-Esakan Allah SWT). Berbeda dengan sahabatnya (khatib Makmur atau Dato ri Bandang, dan Khatib Sulaiman atau Dato Patimang), khatib Abdul Djawad menekankan pelajaran tasawwuf sesuai dengan keinginan masyarakat yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat kabatinan.
Khatib Abdul Jawad inilah yang menjadi mubalig sampai
akhir hayatnya di Tiro Kabupaten Bulukumba, sehingga masyarakat setempat memberinya gelar Dato Tiro. Kata dato digunakan oleh masyarakat setempat karena dialek mereka sulit mengucapkan kata datuk, tetapi dato sama artinya dengan datuk. Kata dato kemudian berubah arti menjadi kakek atau nenek atau orang tua yang dihormati. Sumber: hiburdunia.blogspot.com
Advertisement